BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas dari Dosen pembimbing Bahasa Indonesia Sesuai Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar (SK&KD). Makalah ini disusun berdasarkan tugas
kelompok, dan kami kelompok 7 mendapat bagian menyusun materi mengenai “Penulisan
Resensi Sesuai EYD”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana meresensi yang benar?
2. Mengupas lebih dalam apa itu resensi
C.
Tujuan
1. Memenuhi tugas dosen pembimbing
Bahasa Indonesia.
2. Menambah referensi mengenai resensi
3. Menambah pengetahuan mengenai lebih
dalam apa itu resensi
BAB II
ISI
Resensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pertimbangan atau pembicaraan tentang buku,ulasan buku. Sedangkan kata mengulas itu sendiri mempunyai arti membeberkan penjelasan dan komentar meliputi: menafsirkan (penerangan lanjut, pendapat, dsb), mempelajari (menyelidiki). Kata ulasan mempunyai arti kupasan, tafsiran, dan komentar. Resensi berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata revidere atau recensere artinya melihat kembal, menimbang, atau menilai. Arti yang sama untuk istilah itu dalam bahasa Belanda dikenal dengan recensie. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Tiga istilah itu mengacu pada hal yang sama yaitu mengulas buku.
Tindakan
meresensi dapat berarti memberikan penilaian, mengungkap kembali isi buku,
membahas, atau mengkritik buku. Dengan pengertian yang cukup luas itu, maksud
ditulisnya resensi buku tentu menginformasikan isi buku kepada masyarakat luas
secara singkat. Resensi ialah suatu
tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya.
B. Tujuan Resensi
Tujuan resensi yaitu sebagai berikut:
Tujuan resensi yaitu sebagai berikut:
1.
Memberikan informasi atau pemahaman yang
komprenhensif (mendalam) tentang apa yang tampak dan terungkap dalam sebuah
buku.
2.
Mengajak pembaca untuk memikirkan,
merenungkan, dan mendiskusikan lebih jauh fenomena atau problema yang muncul
dalam sebuah buku.
3.
Memberikan pertimbangan kepada pembaca apakah
buku itu pantas mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak.
C. Unsur
– unsur Resensi
Daniel
Samad (1997:7-8) menyebutkan unsur-unsur resensi adalah sebagai berikut:
1. Membuat
judul resensi
Judul
resensi yang menarik dan benar-benar menjiwai seluruh tulisan atau inti
tulisan, tidak harus ditetapkan terlebih dahulu. Judul dapat dibuat sesudah
resensi selesai. Yang perlu diingat, judul resensi selaras dengan keseluruhan
isi resensi.
2. Menyusun
data buku
Data
buku biasanya disusun sebagai berikut:
a. Judul
buku (apakah buku itu termasuk buku hasil terjemahan. Kalau demikian tuliskan judul aslinya)
b. Pengarang
( Kalaau ada, tulislah juga penerjemah, editor, atau penyunting seperti yang tertera pada buku)
c. Penerbit
d. Tahun
terbit beserta cetakannya (cetakan ke berapa)
e. Tebal
buku
f. Harga
buku ( jika diperlukan)
3. Membuat
Pembukaan
Pembukaan dapat dimulai dengan hal-hal berikut ini:
a. Memperkenalkan
siapa pengarangnya, karyanya berbentuk apa saja, dan prestasi apa saja yang diperoleh.
b. Membandingkan
dengan buku sejenis yang sudah ditulis, baik oleh pengarang sendiri maupun oleh pengarang lain.
c. Memaparkan
kekhasan atau sosok pengarang
d. Memaparkan
keunikan buku
e. Merumuskan
tema buku
f. Mengungkapkan kritik terhadap kelemahan buku
g. Mengungkapkan
kesan terhadap buku
h. Memperkenalkan
penerbit
i.
Mengajukan pertanyaan
j.
Membuka dialog
4. Tubuh
atau isi pernyataaan resensi buku
Tubuh atau isi pernyataan resensi
biasanya memuat hal-hal di bawah ini:
a. Sinopsis
atau isi buku secara benar dan kronologis
b. Ulasan
singkat buku dengan kutipan secukupnya
c. Keunggulan
buku
d. Kelemahan
buku
e. Rumusan
kerangka buku
f. Tinjauan
bahasa (mudah atu berbelit-belit)
g. Adanya
kesalahan cetak
5. Penutup
resensi
Bagian penutup,
biasanya berisi buku itu penting untuk siapa dan mengapa.
D. Langkah-langkah
Membuat Resensi
Terakhir bagaimana cara membuat resensi
itu sendiri? Bagaimana langkah-langkah di dalam membuat resensi yang baik?
Ketika melakukan kegiatan meresensi hendaklah perhatikan langkah-langkah
meresensi buku sebagai berikut:
1. Penjajakan
atau pengenalan terhadap buku yang diresensi, mulai dari tema buku yang di
resensi, disertai deskripsi isi buku, siapa yang menerbitkan buku itu, kapan
dan di mana diterbitkan, tebal (jumlah bab dan halaman), format, hingga harga,
siapa pengarangnya (nama, latar belakang pendidikan, reputasi dan prestasi,
buku atau karya apa saja yang ditulis, hingga mengapa ia menulis buku itu).
Buku itu termasuk golongan buku yang mana: ekonomi, teknik, politik,
pendidikan, psikologi, sosiologi, filsafat, bahasa, atau sastra.
2. Membaca
buku yang akan diresensi secara komprehensif, cermat, dan teliti. Peta
permasalahan dalam buku itu perlu dipahami secara tepat dan akurat.
3. Menandai
bagian-bagian buku yang diperhatikan secara khusus dan menentukan bagian-bagian
yang dikutip untuk dijadikan data.
4. Membuat
synopsis atau intisari dari buku yang akan diresensi.
5. Menentukan
sikap dan menilai hal-hal berikut:
·
Organisasi atau kerangka penulisan:
bagaimana hubungan antara bagian yang satu dan bagian yang satu dan bagian yang
lain, bagaimana sistematikanya, dan bagaimana dinamikanya.
·
Isi pernyataan: bagaimana bobot ide,
analisis, penyajian data, dan kreativitas pemikirannya, bahasa (bagaimana ejaan
yang disempurnakan diterapkan, kalimat dan penggunaan kata, terutama untuk buku
ilmiah).
·
Aspek teknis: bagaimana tata letak, tata
wajah, kerapian dan kebersihan, dan pencetakannya (banyak salah cetak atau
tidak).
Sebelum
menilai, alangkah baiknya jika terlebih dahulu dibuat semacam garis besar
(outline) resensi itu. oUtline ini sangat membantu kita ketika menulis,
mengoreksi dan merevisi hasil resensi dengan menggunakan dasar dan criteria
yang kita tentukan sebelumnya.
E.
Contoh Resensi
Judul
buku : Desaku, Sekolahku
Penulis : Ahmad M. Nizar Alfian Hasan
Penerbit ; Pustaka Q-Tha
Tahun
terbit : Agustus 2007
Ketika sekolah semakin mahal dan
membosankan, apa yang mungkin kita lakukan untuk menghadapi situasi seperti
ini? Biaya sekolah terus mengikuti trend harga barang-barang di pasaran yang
terus membumbung naik. Sementara, kualitas lulusannya masih jauh dari yang
diharapkan. Murid-murid sendiri banyak yang menyatakan kebosanan, tidak
menyenangkan dan tidak menarik atas proses pembelajaran di Sekolah. Ke Sekolah
dengan rasa tertekan dan keterpaksaan. Belum lagi ketegangan dengan guru dan tugas-tugas
sekolah serta pekerjaan rumah (PR) yang menyebalkan. Waktu untuk
mengekspresikan diri dan explorasi ketertarikan pada hal-hal di luar sekolah
habis ditelan tuntutan aktivitas di sekolah. Formalitas sekolahan telah
memandulkan kreativitas dan mengasingkan para murid dari lingkungan hidupnya
sendiri. Dan, bagaimana nasib anak-anak dari keluarga miskin yang tersebar luas
di Indonesia Raya ini? Dan pada akhir ritual sekolah yang ditunggu-tunggu pun
tiba, ijasah adalah simbol kebanggaan kelulusan yang konon bisa memberikan
jaminan hidup kedepan(?) Perlu disadari para mahasiswa bahwa ketika ijasah itu
diterimakan, ketika itu pula status anda berubah, bukan lagi menjadi mahasiswa
sang intelektual melainkan “pengangguran” bila anda belum produktif. Sebagai
sarjana, sudahkah anda memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menerapkannya
dalam aktivitas kerja produktif di tengah-tengah masyarakat membangun ini;
pertanyaannya, apa yang bisa anda kerjakan atau hasilkan? Apa yang bisa
dibanggakan dengan ijasah di tangan tapi tidak berdaya? Kenyataan cenderung
mengatakan “untuk menjadi pandai itu memang mahal.” Dan “orang-orang miskin
dilarang sekolah.” Namun demikian, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin terjadi
di muka Bumi ini selama hal itu manusiawi. Bahwa sekolah (baca: belajar) itu
bisa murah dan berkualitas adalah bukan mimpi, dan hal ini dibuktikan oleh
komunitas petani—yang menamakan dirinya komunitas Qaryah Thayyibah-- di Desa
Kalibening, Kecamatan Tingkir, 3 kilometer dari Kota Salatiga, Propinsi Jawa Tengah.
Berawal dari solidaritas yang kuat dari seorang Bahrudin yang melihat para
tetangganya tidak mungkin menyekolahkan anak-anaknya ke SLTP, karena biaya
masuk sekolah dan SPP bulanannya terasa memberatkan. Ketika itu, ia akan
memasukkan anaknya, Hilmy, ke SLTP di Kota Salatiga. Ia menemui kenyataan bahwa
biayanya cukup mahal, dan tidak sampai hati menyaksikan anaknya pergi ke
sekolah sementara anak-anak tetangganya tak terperhatikan pendidikannya, maka
ia mengajak warga sekitarnya untuk mendirikan sekolah SLTP terbuka, yang
kemudian berkembang menjadi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah. SLTP itu menyebut
diri “alternatif” karena mereka memang bisa dikatakan terlepas dari
mainstreaming proses pembelajaran sebagaimana yang terjadi di sekolah-sekolah
pada umumnya. Sekolah ini mempunyai prinsip dasar: 1) Pendidikan dilandasi
semangat pembebasan dan perubahan yang lebih baik; 2) Keberpihakan kepada
keluarga miskin; 3) proses belajar yang menyenangkan (egaliter); dan
partisipasi semua pihak. Dan sebagaimana yang dicita-citakan oleh penggagasnya,
bahwa SLTP alternatif ini bercita-cita menjadi sekolah yang murah dan
berkualitas. Pak Bahrudin menekankan bahwa lembaga pendidikan alternatif
seyogyanya menyatu dengan lingkungan sosial dan alam sehingga secara langsung berkonribusi
pada perwujudan masyarakat yang tangguh yang mampu mengelola dan mengontrol
segala sumber daya yang tersedia beserta seluruh potensinya sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan dan kelestarian lingkungan serta kesetaraan laki-laki
dan perempuan, atau masyarakat ilmu yang berkeadaban (hlm.37). “Desaku,
Sekolahku” adalah pilihan judul buku yang sangat tepat untuk menyebut konsepsi
belajar yang terjadi di Desa Kalibening. Bahwa belajar tidak hanya di ruang
kelas, tetapi bisa juga di kebun, di lapangan, di bengkel, di sawah, di pinggir
kali, di dapur, di masjid, di rumah-rumah warga, dan seterusnya. Penulis,
A.M.Nizar Alfian Hasan menemukan pesona tersendiri dari anak-anak SLTP yang
mempunyai konsep sekolah ideal tidak terbatas pada bangunan sekolah, atau
konsep ruang bangunan. Sekolah bagi anak-anak itu adalah rumah, ruang
perpustakaan, dapur, halaman rumah sampai lingkungan alam desa dimana mereka
hidup. Proses belajar ditentukan sendiri oleh para murid dan kondisi yang
nyaman serta menyenangkan dengan sendirinya tetap terjaga. Ternyata suasana
informal justru sangat mendukung proses belajar yang kreatif, efektif dan
menyatu dengan masyarakat. Lompatan besar pun terjadi. Anak-anak SLTP
alternatif ini dengan kesadaran baru tidak mengejar penilaian dan ijasah,
melainkan pengetahuan dan kemampuan baru. Bukan kompetisi penilaian yang
dibangun, melainkan kompetisi memahami pengetahuan dan membagikannya kepada
kawan-kawan lainnya. Hanya 4 orang muridnya yang ikut Ujian Akhir Negara (UAN)
2006 yang lalu; itu pun tujuannya adalah penelitian. Persoalan pun dipecahkan
bersama-sama. Saya harus menyampaikan rasa salut saya kepada Bapak Roy
Budhianto di Kota Salatiga yang mendukung pembelajaran anak-anak itu dengan
menyediakan akses internet 24 jam gratis sebagai jendela wawasan dunia. Atas
dukungan inilah anak-anak SLTP QT melesat cepat menjadi komunitas pengguna
internet terbaik di dunia sejajar dengan tujuh komunitas dunia lainnya, seperti
Kampung Issy Les Moulineauk di Perancis dan Kecamatan Mitaka di Tokyo—menurut
peneliti Asia Pasific Telecommunity di Bangkok, Dr.Naswil Idris. “Action Day”
adalah agenda belajar anak-anak SLTP untuk beraktivitas di lingkungan
masyarakat secara langsung, misalnya meneliti dan menulis tentang sengketa mata
air “Belik “ Luweng. Kegiatan ini menjadi ajang implementasi pengetahuan dan
sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Tidak ada anggapan
bahwa ada anak yang bodoh, yang ada adalah talenta dan ketertarikan yang
berbeda-beda. Mereka tidak hanya belajar pengetahuan dan keterampilan, tetapi
juga belajar tentang kehidupan (humanisme). Tidak ada paksaan bahwa semua siswa
harus menguasai pelajaran; kalau ternyata guru saja tidak harus menguasai bahan
pelajaran. Hal ini mengingatkan saya pada situasi belajar di Tomoe, Jepang,
pasca perang dunia kedua, sebagaimana digambarkan oleh Tetsuko Kuroyanagi dalam
bukunya yang terkenal “Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela”. Dan seperti
cita-cita Alm. Romo YB.Mangunwijaya yang sering saya dengarkan sebelum
kepergiannya. Proses belajar ini telah menghasilkan anak-anak berkualitas.
Sebagian dari mereka sudah menulis beberapa novel dan buku ilmiah yang
dipublikasikan oleh penerbit di Yogyakarta. Dan juga sering mendapatkan
undangan untuk menjadi pembicara atau sekadar berbagi pengalaman. Beberapa
karya mereka meliputi pembuatan film documenter dan film untuk belajar
(pengetahuan), menerbitkan majalah E-lalang, berteater untuk masyarakat, dan
mahir dalam multimedia. Mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat
kosmopolitan tetapi tetap mengakar di dunianya.Mereka telah berpikir global dan
bertindak lokal (think globally, act locally). Dalam buku ini tereksplorasi
bagaimana anak-anak kelas-3 SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah mempunyai tugas
akhir—sebagai pengganti UAN--untuk menandai kelulusannya dengan mengadakan dan
menyelesaikan “disertasi” masing-masing. “Disertasi” itu antara lain Pengadaan
Ruang Belajar, Studio Musik Bawah Tanah dan Kolam Belut di Rumah As’ad;
Laboratorium Tanaman dan Pembuatan Briket Sampah di Rumah Amri; Ruang Belajar
dan Budidaya Tanaman Obat di Rumah Ulfa; Ruang Belajar di Rumah Amik;
“Menghidupkan” Kembali Kolam Renang Milik Keluarga Alm.Bapak Tafdil; Radio
Sekolah dan Gudang/Bengkel Karya di Rumah Bapak Bahrudin; dan lain-lain. Proses
penulisan Tugas Akhir dalam studi Arsitektur di FT-UNS Surakarta ini perlu
dijadikan contoh nyata, bahwa pembelajaran yang langsung melibatkan suatu
masyarakat akan memberikan transformasi positif bagi kedua belah pihak. Penulis
mengakui bahwa proses interaksi dengan komunitas, terutama anak-anak SLTP
alternatif Qaryah Thayyibah mempuyai dampak pembelajaran yang memberikan
pencerahan. Semuanya merasakan perubahan yang lebih baik. Dan pada akhirnya,
perlu diambil hikmahnya: bahwa belajar itu tidak mengenal batas ruang dan
waktu, bahwa sekolah itu bisa murah dan berkualitas, dan tentunya dengan adanya
semangat dan upaya yang kuat dari semua pihak. Inilah yang disebut Komunitas
Belajar.
Judul
buku : Desaku, Sekolahku Penulis : Ahmad M. Nizar Alfian Hasan Penerbit :
Pustaka Q-Tha Tahun Terbit : Agustus 2007 Tebal buku : XXV+189 hlm, 14 x 20 cm
Ketika sekolah semakin mahal dan membosankan, apa yang mungkin kita lakukan
untuk menghadapi situasi seperti ini? Biaya sekolah terus mengikuti trend harga
barang-barang di pasaran yang terus membumbung naik. Sementara, kualitas
lulusannya masih jauh dari yang diharapkan. Murid-murid sendiri banyak yang
menyatakan kebosanan, tidak menyenangkan dan tidak menarik atas proses
pembelajaran di Sekolah. Ke Sekolah dengan rasa tertekan dan keterpaksaan.
Belum lagi ketegangan dengan guru dan tugas-tugas sekolah serta pekerjaan rumah
(PR) yang menyebalkan. Waktu untuk mengekspresikan diri dan explorasi
ketertarikan pada hal-hal di luar sekolah habis ditelan tuntutan aktivitas di
sekolah. Formalitas sekolahan telah memandulkan kreativitas dan mengasingkan
para murid dari lingkungan hidupnya sendiri. Dan, bagaimana nasib anak-anak
dari keluarga miskin yang tersebar luas di Indonesia Raya ini? Dan pada akhir
ritual sekolah yang ditunggu-tunggu pun tiba, ijasah adalah symbol kebanggaan
kelulusan yang konon bisa memberikan jaminan hidup kedepan(?) Perlu disadari
para mahasiswa bahwa ketika ijasah itu diterimakan, ketika itu pula status anda
berubah, bukan lagi menjadi mahasiswa sang intelektual melainkan “pengangguran”
bila anda belum produktif. Sebagai sarjana, sudahkah anda memiliki kemampuan
dan keterampilan untuk menerapkannya dalam aktivitas kerja produktif di
tengah-tengah masyarakat membangun ini; pertanyaannya, apa yang bisa anda
kerjakan/ hasilkan? Apa yang bisa dibanggakan dengan ijasah di tangan tapi
tidak berdaya..? Kenyataan cenderung mengatakan “untuk menjadi pandai itu
memang mahal.” Dan “orang-orang miskin dilarang sekolah.” Namun demikian, tidak
ada sesuatu yang tidak mungkin terjadi di muka Bumi ini selama hal itu
manusiawi. Bahwa sekolah (baca: belajar) itu bisa murah dan berkualitas adalah
bukan mimpi, dan hal ini dibuktikan oleh komunitas petani—yang menamakan
dirinya komunitas Qaryah Thayyibah-- di Desa Kalibening, Kecamatan Tingkir, 3
kilometer dari Kota Salatiga, Propinsi Jawa Tengah. Berawal dari solidaritas
yang kuat dari seorang Bahrudin yang melihat para tetangganya tidak mungkin
menyekolahkan anak-anaknya ke SLTP, karena biaya masuk sekolah dan SPP
bulanannya terasa memberatkan. Ketika itu, ia akan memasukkan anaknya, Hilmy,
ke SLTP di Kota Salatiga. Ia menemui kenyataan bahwa biayanya cukup mahal, dan
tidak sampai hati menyaksikan anaknya pergi ke sekolah sementara anak-anak
tetangganya tak terperhatikan pendidikannya, maka ia mengajak warga sekitarnya
untuk mendirikan sekolah SLTP terbuka, yang kemudian berkembang menjadi SLTP
Alternatif Qaryah Thayyibah. SLTP itu menyebut diri “alternatif” karena mereka
memang bisa dikatakan terlepas dari mainstreaming proses pembelajaran
sebagaimana yang terjadi di sekolah-sekolah pada umumnya. Sekolah ini mempunyai
prinsip dasar: 1) Pendidikan dilandasi semangat pembebasan dan perubahan yang
lebih baik; 2) Keberpihakan kepada keluarga miskin; 3) proses belajar yang
menyenangkan (egaliter); dan partisipasi semua pihak. Dan sebagaimana yang
dicita-citakan oleh penggagasnya, bahwa SLTP alternatif ini bercita-cita
menjadi sekolah yang murah dan berkualitas. Pak Bahrudin menekankan bahwa
lembaga pendidikan alternatif seyogyanya menyatu dengan lingkungan sosial dan
alam sehingga secara langsung berkonribusi pada perwujudan masyarakat yang
tangguh yang mampu mengelola dan mengontrol segala sumber daya yang tersedia
beserta seluruh potensinya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan
kelestarian lingkungan serta kesetaraan laki-laki dan perempuan, atau
masyarakat ilmu yang berkeadaban (hlm.37). “Desaku, Sekolahku” adalah pilihan
judul buku yang sangat tepat untuk menyebut konsepsi belajar yang terjadi di
Desa Kalibening. Bahwa belajar tidak hanya di ruang kelas, tetapi bisa juga di
kebun, di lapangan, di bengkel, di sawah, di pinggir kali, di dapur, di masjid,
di rumah-rumah warga, dan seterusnya. Penulis, A.M.Nizar Alfian Hasan menemukan
pesona tersendiri dari anak-anak SLTP yang mempunyai konsep sekolah ideal tidak
terbatas pada bangunan sekolah, atau konsep ruang bangunan. Sekolah bagi
anak-anak itu adalah rumah, ruang perpustakaan, dapur, halaman rumah sampai
lingkungan alam desa dimana mereka hidup. Proses belajar ditentukan sendiri
oleh para murid dan kondisi yang nyaman serta menyenangkan dengan sendirinya
tetap terjaga. Ternyata suasana informal justru sangat mendukung proses belajar
yang kreatif, efektif dan menyatu dengan masyarakat. Lompatan besar pun
terjadi. Anak-anak SLTP alternatif ini dengan kesadaran baru tidak mengejar
penilaian dan ijasah, melainkan pengetahuan dan kemampuan baru. Bukan kompetisi
penilaian yang dibangun, melainkan kompetisi memahami pengetahuan dan
membagikannya kepada kawan-kawan lainnya. Hanya 4 orang muridnya yang ikut
Ujian Akhir Negara (UAN) 2006 yang lalu; itu pun tujuannya adalah penelitian.
Persoalan pun dipecahkan bersama-sama. Saya harus menyampaikan rasa salut saya
kepada Bapak Roy Budhianto di Kota Salatiga yang m mendukung pembelajaran
anak-anak itu dengan menyediakan akses internet 24 jam gratis sebagai jendela
wawasan dunia. Atas dukungan inilah anak-anak SLTP QT melesat cepat menjadi
komunitas pengguna internet terbaik di dunia sejajar dengan tujuh komunitas
dunia lainnya, seperti Kampung Issy Les Moulineauk di Perancis dan Kecamatan
Mitaka di Tokyo—menurut peneliti Asia Pasific Telecommunity di Bangkok,
Dr.Naswil Idris. “Action Day” adalah agenda belajar anak-anak SLTP untuk
beraktivitas di lingkungan masyarakat secara langsung, misalnya meneliti dan
menulis tentang sengketa mata air “Belik “ Luweng. Kegiatan ini menjadi ajang
implementasi pengetahuan dan sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat
sekitarnya. Tidak ada anggapan bahwa ada anak yang bodoh, yang ada adalah
talenta dan ketertarikan yang berbeda-beda. Mereka tidak hanya belajar
pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga belajar tentang kehidupan
(humanisme). Tidak ada paksaan bahwa semua siswa harus menguasai pelajaran;
kalau ternyata guru saja tidak harus menguasai bahan pelajaran. Hal ini
mengingatkan saya pada situasi belajar di Tomoe, Jepang, pasca perang dunia
kedua, sebagaimana digambarkan oleh Tetsuko Kuroyanagi dalam bukunya yang
terkenal “Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela”. Dan seperti cita-cita Alm. Romo
YB.Mangunwijaya yang sering saya dengarkan sebelum kepergiannya. Proses belajar
ini telah menghasilkan anak-anak berkualitas. Sebagian dari mereka sudah
menulis beberapa novel dan buku ilmiah yang dipublikasikan oleh penerbit di
Yogyakarta. Dan juga sering mendapatkan undangan untuk menjadi pembicara atau
sekadar berbagi pengalaman. Beberapa karya mereka meliputi pembuatan film
documenter dan film untuk belajar (pengetahuan), menerbitkan majalah E-lalang,
berteater untuk masyarakat, dan mahir dalam multimedia. Mereka sudah menjadi
bagian dari masyarakat kosmopolitan tetapi tetap mengakar di dunianya.Mereka
telah berpikir global dan bertindak lokal (think globally, act locally). Dalam
buku ini tereksplorasi bagaimana anak-anak kelas-3 SLTP Alternatif Qaryah
Thayyibah mempunyai tugas akhir—sebagai pengganti UAN--untuk menandai
kelulusannya dengan mengadakan dan menyelesaikan “disertasi” masing-masing.
“Disertasi” itu antara lain Pengadaan Ruang Belajar, Studio Musik Bawah Tanah
dan Kolam Belut di Rumah As’ad; Laboratorium Tanaman dan Pembuatan Briket
Sampah di Rumah Amri; Ruang Belajar dan Budidaya Tanaman Obat di Rumah Ulfa;
Ruang Belajar di Rumah Amik; “Menghidupkan” Kembali Kolam Renang Milik Keluarga
Alm.Bapak Tafdil; Radio Sekolah dan Gudang/Bengkel Karya di Rumah Bapak
Bahrudin; dan lain-lain. Proses penulisan Tugas Akhir dalam studi Arsitektur di
FT-UNS Surakarta ini perlu dijadikan contoh nyata, bahwa pembelajaran yang
langsung melibatkan suatu masyarakat akan memberikan transformasi positif bagi
kedua belah pihak. Penulis mengakui bahwa proses interaksi dengan komunitas,
terutama anak-anak SLTP alternatif Qaryah Thayyibah mempuyai dampak
pembelajaran yang memberikan pencerahan. Semuanya merasakan perubahan yang
lebih baik. Dan pada akhirnya, perlu diambil hikmahnya: bahwa belajar itu tidak
mengenal batas ruang dan waktu, bahwa sekolah itu bisa murah dan berkualitas,
dan tentunya dengan adanya semangat dan upaya yang kuat dari semua pihak.
Inilah yang disebut Komunitas Belajar.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan materi yang
telah diuraikan pada halaman-halaman sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pada
saat menulis resensi, kita perlu memperhatikan aturan-aturan penulisan resensi
yang benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Resensi
bisa disebut juga sebagai penilaian pembaca terhadap buku yang dibacanya, baik
dari segi kelebihan maupu kekurangannya.
0 komentar:
Posting Komentar