Diary
Hitamku
Langit
Eropa pagi ini tampak begitu cerah. Burung gereja saling berkejaran satu sama
lain. Aku melihat diriku lekat- lekat di sebuah cermin di hadapanku. Sudah
rapi, pikirku. Tiga tahun sudah aku hidup di salah satu negara di Benua Eropa
ini. Hari ini aku akan mengakhiri perjalananku di sini. Aku melirik sebuah foto
di atas meja, foto wisuda sarjanaku. Tak banyak yang berubah, aku masih sama
seperti tiga tahun yang lalu. Foto itu seakan membawaku pada memori- memori yang
telah lama aku simpan dengan rapi.
_
Bandung,
11 Januari 2010
Halo
kamu,
Terima
kasih telah hadir dalam mimpiku. Kamu tau, aku merasa seperti berada di dunia
nyata kala itu. Aku begitu mengenalmu, dan kamu
pun sangat mengenal aku. Kamu sangat tau kesukaanku, kamu begitu
memperhatikan aku. Waktu satu malam
rasanya sangat cepat ketika aku menjalaninya bersama kamu. Dan aku tau, aku
akan segera terbangun. Terbangun kembali untuk ke sekian kalinya. Sebelum
semuanya kembali ke dunia nyata,aku hanya ingin mengatakan bahwa aku bangga
bisa mengenal dan menyayangimu meskipun aku tau aku takan bisa memilikimu.
Kalimat terakhir yang tertulis rasanya begitu menyesakan.
Aku pun tak mampu lagi menuliskan kalimat demi kalimat berikutnya untuk
melengkapi diary hitam ini. Diiringi sebuah lagu dari Nano-sebatas mimpi yang
mengalun merdu dari radio kesayanganku, semakin lama aku harus semakin memendam perasaanku ini. Sakit.
Bertahun- tahun perasaan ini tumbuh, dan ternyata semakin bertambah sakit.
Diary yang berada di depan ku adalah saksi tentang perasaan yang selama ini aku
pendam. Aku tak tahu diary ini entah diary yang ke berapa. Seingat aku, aku
selalu mengganti diary yang telah penuh dengan coretan tentang dia. Yah, hampir
tiga tahun aku bertahan dengan keadaan ini. Pengecut memang, hanya bersembunyi
dibalik cover sebuah diary.
“Tok..tok..tok.”
terdengar suara ketukan pintu dari kamar kost ku.
“Nina,,,lo di dalam kn?
gue masuk yaa”
Suara ini aku begitu
mengenalnya, Lisa sahabatku. Secepat mungkin aku menyembunyikan diary ku dan
menghapus bekas air mata yang tidak sengaja jatuh. Mungkin berpura-pura tidur
itu lebih baik, Lisa tidak akan mencurigaiku.
“Nina, gue masuk yaa.”
Sahutnya lagi, karena tidak ada jawaban.
“Ya ampun Nina, ko lo
masih tidur? Kita ada kelas jam 10. Ayoo bangun, udah jam 9 lewat.” Ucapnya
sambil menarik selimut dan tanganku dengan paksa. Dia tidak tahu kalau aku Cuma
pura-pura.
“Iyahh,,ini gue bangun.
Tunggu bentar.”
Tidak butuh waktu yang lama untuk bersiap-siap ke kampus.
Faktor utamanya karena aku ngga bisa dandan. Berbeda dengan Lisa yang selalu
tampil cantik dan rapi. Dia juga merupakan bunga kampus. Dia sangat feminim,
banyak yang mengidolakannya. Saat ini kami memasuki semester akhir dan tidak
lama lagi mungkin kami akan segera lulus. Kami berdua mengambil jurusan yang sama. Saat ada Lisa, kesedihan akan
terkubur. Dia pandai menghibur, tapi bukan pelawak. Hari- hari yang aku lalui
bersama Lisa rasanya seperti permen nano-nano. Punya banyak rasa.
***
Hampir tiga bulan mimpi itu tidak datang lagi. Rasanya
ada yang hilang. Mungkin ini cara Tuhan supaya aku bisa melupakan dia dan fokus
dengan ujian yang sudah di depan mata. Di lain sisi aku merasa gundah, sudah beberapa
hari Lisa tidak masuk kuliah, aku coba menghubungi hp nya tapi tidak pernah
aktif. Di kost juga ngga ada, kata temen kostnya dia pulang ke Bogor. Tapi
kenapa dia tidak memberiku kabar sama sekali, bukannya aku ini sahabat dia.
“Kring..kring…”
Tiba-tiba handphone-ku berbunyi. 1 pesan diterima dari Nanda, komti di kelasku.
“
Nin, jam 10.00 lu d suruh ke ruang wadek kemahasiswaan.ini psen dr Pak Hilal”
Sesuai pesan Nanda, jam
09.55 aku sudah menghadap Pak Hilal. Dan kebetulan beliau sudah ada disana.
“Selamat siang, Pak.”
Sapaku dengan senyum seramah mungkin.
“Oh Nina, silakan
duduk. Ada yang mau saya bicarakan dengan kamu.”
Rasa deg-degan
tiba-tiba menyergapku.
“ Nina, dua hari yang
lalu kampus kita mendapat tawaran beasiswa dari salah satu universitas di
Jerman. Beasiswa ini hanya berlaku untuk jurusan eksak. Berdasarkan penilaian
saya terhadap sekian ratus mahasiswa di jurusan kita ini, kamu yang memenuhi
criteria untuk menerima beasiswa S2 ini. Tapi dengan syarat, kamu harus
mendapatkan predikat cumlaude saat
kelulusan nanti. Saya yakin kamu bisa, karena dari 7 semester kamu telah
berhasil. Apa kamu bersedia?”
Mendengar berita ini, seperti sedang mendapatkan durian
runtuh. Ini adalah impianku, kuliah di luar negeri dengan beasiswa. Tanpa
menunggu lama lagi, aku langsung mengiyakan tawaran dari wakil dekan ini. Aku
yakin orang tuaku pun pasti akan menyetujui. Setelah menyelesaikan tugasku aku
segera pulang ke kosan.
***
Malam yang sungguh sepi. Mungkin ini adalah malam
terakhir aku berada di kamar kost ini. Besok pagi aku harus segera terbang ke
negara impianku, Jerman. Yah, aku berhasil mendapatkan beasiswa itu. Malam ini
menjadi malam perpisahan antara aku dengan keluargaku. Untuk yang pertama
kalinya mereka menginap di kost kecil ini, mengantarkan putrinya untuk menetap
beberapa tahun di negeri orang. Tetapi terasa kurang, aku telah kehilangan
sahabatku, Lisa. Semenjak 5 bulan terakhir dia menghilang. Bahkan saat
kelulusanku pun dia tidak datang atau sekedar memberi ucapan selamat.
Dengan hati berdebar, aku coba membuka halaman demi
halaman dairy hitam ku. Mungkin ini akan menjadi coretan terakhirku tentang
dia.
Bandung,25
Agustus 2010
Hai
kamu,
Tepat
4 tahun sudah aku mencintaimu dengan diam, dan mungkin engkau pun takan pernah
tau. Ini adalah tulisan terakhirku tentang kamu, besok aku akan terbang mengejar
mimpiku. Kamu berhasil membuatku mengerti tentang arti cinta yang tak harus
memiliki. Terima kasih telah hadir dalam hidupku. Ini adalah pertama kalinya
aku akan menuliskan namamu di diary ini, tanpa harus menggunakan kata ‘kamu’.
Namamu akan menjadi penutup dari diary terakhirku ini.
AKU
MENCINTAIMU, RENDA ADI NUGROHO.
Semua buku diary dari
awal aku kuliah sampai terakhir aku masukan ke dalam sebuah kardus khusus. Setelah itu aku titipkan ke ibu kost untuk di
jual di tukang buku kiloan. Biarlah itu semua menjadi kenangan dan bumbu dalam
hidupku. Dan besok babak baru dimulai.
***
3 tahun kemudian, hari
ini…
Jerman,
18 Agustus 2013. Seketika lamunanku dibuyarkan oleh bunyi handphone di atas
meja. Panggilan untuk segera merapat ke kampus. Hari ini adalah hari
kelulusanku. Aku berhasil mendapatkan gelar M.Sc, Nina Dwi Arista S.Si , M.Sc
lengkapnya. Lusa aku akan kembali ke Indonesia. 3 tahun aku mengejar mimpi di
negeri ini, kini saatnya aku mengaplikasikan ilmuku di Indonesia.
Pesawat yang membawaku ke tanah air tiba dengan selamat.
Kulihat keluargaku telah menjemputku di bandara. Dengan berlinang air mata aku
peluk orang tuaku erat. Tampak senyum kebahagiaan terpancar dari wajah mereka.
Aku telah bertekad mengabdikan diriku untuk mengajar di kampus ku yang dulu.
Ketika aku mengunjungi kampus, aku disambut dengan begitu hangat oleh civitas
akademik kampus. Dan disitu pula aku mendapatkan sebuah undangan untuk
menghadiri acara bedah buku suatu novel yang sedang naik daun. Di situ aku akan
bertemu langsung dengan penulis novel tersebut.
Dari kejauhan terdengar teriakan histeris para
pengunjung. Ruangan yang begitu luas itu terlihat sempit dengan banyaknya
pengunjung yang berdesak-desakan untuk melihat langsung si penulis itu,
termasuk aku. Aku begitu penasaran dengan penulis yang mampu membuat pembacanya
ikut larut dalam alur cerita itu. Apalagi katanya novel itu terinspirasi dari
kehidupan dia langsung.
“ Apakah Renata ini
berhasil menemukan kebahagiaannya?” Tanya salah satu pengunjung saat sesi tanya
jawab. Dengan santai penulisnya menjawab :
“ Yah tentunya. Tapi
kita tidak tau dengan siapa kebahagiaan itu ia dapatkan. Karena di lain sisi
Adi menunggu kepulangannya untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Kisah
selanjutnya akan di tulis di part 2. Jadi tunggu saja tanggal terbitnya.”
Suara itu aku seperti
mengenalnya, tidak asing lagi di telingaku. Aku berusaha masuk ke dalam ruangan
mengalahkan beratus- ratus pengunjung. Dan aku berhasil. Namun, tiba- tiba aku
seperti mati berdiri.
Aku berkali- kali mencubit tanganku, memastikan ini bukan
mimpi. Aku berhadapan dengan dia, Renda Adi Nugroho berdua dalam satu meja
makan. Dia adalah penulis novel itu yang menggunakan nama pena Nugro Ariesta.
“ Kapan pulang ke
Indonesia?” Tanyanya mencairkan suasana. Memang dari tadi kami saling membisu.
“ Seminggu yang lalu”
jawabku dengan nada bergetar. Aku mencoba memalingkan pandanganku dari orang
yang tidak bisa aku lupakan ini.
“ sudah baca novel ku?”
Tanyanya lagi, dan aku hanya mengangguk pelan. Dari dulu aku memang ngga bisa
berhadapan dengan dia, ngomong pun menjadi tidak lancar. “ Waktu itu Lisa
datang ke kost ku, sehari setelah kamu berangkat ke Jerman. Kamu pikir dia
menghilang, tapi ternyata dia cuti kuliah karena penyakitnya semakin parah.
Dalam keadaan down itu dia memaksakan
diri menemui kamu, tapi dia terlambat. Dia hanya mendapatkan sebuah kardus dari
ibu kost kamu. Dia datang kepadaku setelah membaca isi diary kamu dan
menyerahkannya padaku. Jujur aku kaget dengan isi tulisan kamu.” Dia berhenti
sejenak sambil menatapku, aku menjadi salting. Apalagi kini rahasiaku sedang
dibongkar olehnya.
“ Aku sama sekali tidak
menyangka, Nin. Kamu sendiri bahkan tidak tau perasaanku sama sekali. Dari
tulisan kamu itu kemudian aku terinspirasi untuk merangkainya dalam sebuah karangan.
Dan aku yakin kamu juga pasti tau maksud dari isi novel itu.” Lanjutnya .“ Ada
yang mau akau tanyakan ke kamu, apa kamu sudah menikah?”
Deg, pertanyaannya begitu membuatku kaget. Sekilas aku
mencoba memberanikan untuk menatap matanya, tampak ia menunggu jawabanku.
Setelah menarik napas, aku menjawab pertanyaan Renda.
“Belum” jawabku pelan.
Ku lihat dia menarik napas lega sambil tersenyum.
***
Hari- hari kini begitu indah aku lalui. Perjuangan di
dunia ini tidak ada yang sia- sia. Bahkan berjuta-juta goresan penaku di diary
pun kini telah menuai hasilnya. Renda Adi Nugroho, kini telah resmi menjadi
pendamping hidupku.
Saat ini kami sedang berada di pusara makam Lisa. Aku
baru tau bahwa dia meninggal karena menderita gagal ginjal setahun setelah
keberangkatanku ke Jerman. Aku benar- benar bersyukur telah di anugrahi sahabat
yang begitu baik. Tak sadar, air mata menetes dari pelupuk mataku. Renda pun
mencoba menggenggam tanganku dengan erat, mencoba menguatkanku.
‘Selamat
jalan sahabat. Engkau adalah anugerah untukku’.
0 komentar:
Posting Komentar